Mengokohkan Gerakan Mahasiswa

TIGA BELAS tahun reformasi adalah sejarah masifnya gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim orde baru. Reformasi telah meninggalkan perjuangan yang dipenuhi dengan air mata, darah dan nyawa. Gerakan mahasiswa adalah panggilan nurani untuk merubah kepemimpinan tiran dan menghegemoni negara dengan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat.

Gerakan mahasiswa akhirnya harus mengambil jalan gerakan ekstraparlementer (luar parlemen) untuk melawan despotisme pemimpin yang sudah berkuasa selama 32 tahun lamanya. Atas nama rakyat gerakan mahasiswa menjadi gerakan radikal yang sebenarnya tidak disukai oleh rakyat sendiri yang jelas-jelas diperjuangkan haknya sebagai makhluk bernegara. Tindakan represif militer, popor senjata, tembakan peluru dihadapi demi idealisme perjuangan. Gerakan mahasiswa akhirnya berhasil menumbangkan rezim otoriter dengan terus memobilisasi massa dan terus melakukan gerakan radikal.

Demokrasi dan Kembalinya Hegemoni Parpol
Mei 98’ adalah sejarah gerakan mahasiswa terkuat dalam menyuarakan aksi untuk menuntut demokrasi yang lebih terbuka dan fair. Tidak adanya keterbukaan dan rezim yang penuh pengekangan dipaksa untuk turun dari singgasananya yang sudah berkuasa 32 tahun. Pada akhirnya gerakan radikalisme harus diambil sebagai jalan perlawanan rezim otoriter.

Gagasan radikalisme perubahan pernah ditawarkan oleh Karl Marx, dengan perspektif Marx ortodoks gerakan radikal diupayakan untuk melakukan perubahan kebijakan mengganti rezim. Oleh karena itu, menurut Marx, perubahan harus dilakukan dengan memobilisasi massa dan memaksa rezim tiran turun dari singgasana.

Demokrasi terbuka berhasil menjadi isu '98 dan segala tuntutannya. Namun seiring perjalanan reformasi sampai hari ini belum menunjukkan keberhasilan Indonesia menjadi welfare state (negara sejahtera). Masalah yang timbul adalah demokrasi malah menunjukkan kebebasannya yang semakin memperlihatkan laku politik yang elitis dan tuli terhadap aspirasi.

Demokrasi semakin offside dan menimbulkan problem baru bangsa yaitu hegemoni parpol dalam system demokrasi. Rentetan pemilu daerah dan nasional menjadi ajang transaksi kotor yang merusak etika demokrasi.

Parpol menjadi alat penghisap kekuatan modal paling kuat setelah reformasi berhasil digulingkan. Multi partai semakin memperlihatkan kepongahannya dan menunjukkan demokrasi yang tidak substantif. Reformasi dibajak oleh elit politik dan memburamkan nalar etik demokrasi kita.

Beberapa kesalahan besar yang dilakukan parpol adalah mengeluarkan legitimasi konstitusi yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat. Parpol secara perlahan melakukan rekonsolidasi otoritarianisme sebagaimana gaya orde baru. Pertama, parpol dengan wakilnya di DPR mengeluarkan konstitusi yang tidak berupaya menyelamatkan kekayaan alam Indonesia tapi mendukung hegemoni asing menjarah kekayaan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam isi UU penanaman modal asing, UU Migas, UU kehutanan, UU Air dan UU lainnya yang lebih pro terhadap asing.

Kedua, Parpol semakin menunjukkan laku politik yang miskin program untuk rakyat tapi kaya program untuk kepentingan kelompok partai. Ketiga, parpol semakin otoriter dalam meraup keuntungan atas transaksi demokrasi ditiap pilkada.

Bukan hal baru parpol melakukan tawar menawar harga dengan calon yang diusung dalam pemilu kepala daerah. Hal ini sangat jelas menunjukkan parpol semakin otoriter dan telah mencederai demokrasi dengan rekonsolidasi otoritarianisme.

Rekonsolidasi otoritarianisme bisa berupa: sistem politik demokratik yang pelan-pelan mengarah kepada sistem otoriter, penguasa mulai terlihat watak otoriternya, persekongkolan kepentingan atau budaya lama yang menghinggapi mental dan cara kerja politik para aktor. Mereka memang hidup di era reformasi, tapi mereka sungguh belum reformis. Mereka terpilih lewat mekanisme yang demokratis tapi mereka belum sepenuhnya demokratis (Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, 2008)

Kembali Mengokohkan Gerakan mahasiswa
Demokrasi semakin offside, ini yang terjadi di usia reformasi yang sudah 13 tahun. Kekuatan mahasiswa yang dulu mengangkat isu keterbukaan demokrasi harus mengambil jalan perjuangan untuk mengembalikan nalar etika demokrasi. Antonio Gramsci sebagai pengagum Marx mencari jalan lain dalam melakukan gelombang perubahan di tengah offsidenya demokrasi.

Gramsci tidak menawarkan mobilisasi gerakan massa sebagaimana gerakan '98 karena demokrasi sebenarnya sudah sedemikian terbuka dan pemimpin bebas dikritik. Gramsci lebih menarik dengan menawarkan gerakan intelektual yaitu membangun kesadaran kultural masyarakat. Artinya gerakan ini lebih pada aktivitas ilmiah dan bentuk pencerdasan masyarakat di segala lini. Gerakan intelektual ini ditujukan dalam rangka melawan kekuatan parpol sebagai hegemoni negara. Gerakan Gramsci ini lebih dikenal dengan counter hegemoni.

Gerakan mahasiswa sekali lagi harus mengambil jalan perjuangan untuk menyelamatkan misi demokrasi yang benar-benar menyejahterakan rakyat. Beberapa hal yang harus dilakukan gerakan mahasiswa harus bergerak terstruktur dan tetap melibatkan massa tapi tidak untuk melakukan gerakan radikal. Pertama, Gerakan mahasiswa harus turun ke basis rakyat dan melakukan pendidikan politik dan kampanye anti parpol elit yang mengkapitalisasi suara konstituen.

Kedua, melakukan kerja intelektual dengan menguatkan posisi tawar daerah dan melawan parpol yang miskin program sehingga memaksa parpol bekerja terprogram ketika janji kepada rakyat.

Ketiga, mencermati peraturan daerah dan mencari gagasan cerdas dengan pengkajian Peraturan Daerah (Perda) yang pro tehadap rakyat. Artinya mahasiswa juga harus kaya akan pengkajian ilmiah dan mampu mencari solusi terobosan pembangunan daerah sebagai wujud bentuk konkret substansi otonomi daerah.

Sebagaimana pendapat Gramsci, kerja mahasiswa merupakan salah satu bentuk intelektual organik yang mampu bekerja dengan perubahan konstitusi sebagai landasan pijak. Gerakan pengkajian konstitusi oleh intelektual organik akan lebih memberi solusi dari kejumudan para wakil parpol di legislatif.

Para wakil rakyat di DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/kota yang miskin Prolegnas (Program Legislatif Nasional) dan Prolegda (Program Legislatif Daerah) didesak untuk bekerja bersama intelektual organik untuk menghasilkan konstitusi dan perda yang pro rakyat. Bersama mahasiswa, akademisi, dan pers segera melakukan Penguatan Ormas, LSM, dan Komunitas rakyat sebagai cara mencerdaskan sikap politik bangsa dan pemahaman rakyat bagaimana menjalankan demokrasi substansial.

Gagasan Gramsci ini lebih relevan karena Indonesia butuh adanya perubahan konstitusi baru sebagai pijakan demokrasi rakyat. Tanpa harus meninggalkan gerakan jalanan mahasiswa suatu waktu juga perlu melakukan pressure group sebagai ciri Gerakan mahasiswa.

Ali Syariati mengatakan, “Misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara. Dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi.”

Pendapat Syariati di atas menguatkan argumen bahwa pencerdasan civil society sangat penting dalam demokrasi kita. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan pemimpin yang baik dan juga memunculkan konstitusi yang bermutu serta pro kepentingan rakyat. Kaum intelektual seperti gerakan mahasiswa akan terus ada dan tumbuh untuk menjaga nalar etik demokrasi. Mereka adalah penjaga kebenaran dan selalu akan menjadi aktor eksekusi bagi rezim tiran yang menghegemoni.

Mengokohkan kembali gerakan mahasiswa sangat penting bagi perjuangan gerakan. Menolak tunduk terhadap hegemoni parpol adalah pilihan logis sebagai gerakan sosial independent dan gerakan ekstra parlementer.

Dharma Setyawan

Ketua Komunitas Hijau Lampung
dan Aktifis Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel