Arus Politik Organisasi Eksternal Kampus

"Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi." (Soe Hok Gie: 1942-1969)

ORGANISASI 'pergerakan' merupakan salah satu sendi kekuatan mahasiswa. Selama ini, spirit berdikari mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya kerap diakomodasi dalam arus organisasi eksternal. Entah itu bernaung di bawah payung HMI, PMII, KAMMI, GMNI atau pun organisasi eksternal kampus lainnya. Tak jarang aksi-aksi yang diadakan oleh mahasiswa membawa bendera organisasi eksternal. Namun apakah pergerakan itu selalu beraktivitas di luar kampus?

Tidak dimungkiri dan telah menjadi rahasia umum bagi warga kampus, bahwa label kampus juga memengaruhi warna pigmen dominan dari organisasi eksternalnya. Misalnya dari kampus berlabel ‘hijau’ akan didominasi pergerakan bercorak tradisional, sedang kampus berwarna ‘biru’ akan didominasi pergerakan bercorak modernis.

Kekuatan itu bak status quo yang perlu dipertahankan, entah bagaimana pun caranya, para kader akan berusaha dengan semaksimal mungkin menjaring ‘pengikut-pengikut’ baru untuk memperkuat dominasinya. Setelah sekian anggota terjaring, yang umum terjadi adalah, anggota baru diindoktrinasi bahwa organisasi mereka adalah yang paling kaffah. Bahkan, sekedar ikut dalam perekrutan organisasi lain bisa berakibat
‘dimurtadkan’ dari organisasinya.

Meskipun organisasi eksternal mengklaim diri sebagai organisasi pergerakan dan pengkaderan, namun dalam kasunyatannya mengarah pula pada politisasi. Tidak dapat dielak, bahwa organisasi eksternal telah menjadi lokomotif untuk mengkooptasi mahasiswa pada ranah politik kampus. Sehingga, meskipun organisasi semacam ini berlabel eksternal, namun toh menjadi ‘senapan’ manuver-manuver yang mengakomodasi penyebarannya ke berbagai lini internal kampus.

Perekrutan anggota oleh organisasi eksternal kerap dilakukan menjelang Pemilu Raya Mahasiswa (Pemira). Hal ini dilakukan dalam rangka suksesi pemira, agar puncak kekuasaan, Presiden Mahasiswa bisa diduduki oleh kadernya. Kerap kali pemimpin puncak di internal kampus dilahirkan dari kekuatan massa organisasi eksternal, yang anggotanya paling banyak. Jika organisasi eksternal kampus menggunakan kekuatannya masuk ke dalam sistem politik kampus, maka mau tidak mau yang memunyai massa paling banyaklah yang akan memenangkan perebutan kursi legislatif
(Dewan Perwakilan Mahasiswa: DPM), serta memenangkan jabatan eksekutif (BEM).

Arah organisasi eksternal yang semacam ini, menjadikan tatanan dalam internal kampus tidak fokus pada aktivitasnya. Akan ada kecemburuan sosial, akan ada sentimen-sentimen yang tidak perlu. Bagaimana tidak, karena sikap organisasi eksternal yang cenderung menginginkan posisi-posisi penting dalam jabatan internal didominasi dari pihaknya, maka hubungan dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), misalnya, bisa tak harmonis.

Misalkan ada anggota UKM yang berasal dari organisasi eksternal A, sedangkan yang lain dari B, jika tak menahan diri, bisa saja antara A dan B terjadi sentimen dalam lingkup hubungan internal kampus. Itu karena mereka terlanjur membawa dan mengaitkan status keanggotaan dalam suatu organisasi eksternal, ke dalam organisasi internal kampusnya.

Seperti pandangan Talcott Parsons (1981) yang disadur oleh Ali Mandan (1986), bahwa konflik bisa terjadi karena benturan-benturan kepentingan (perebutan status, kekuasaan dan materi) dari para aktor yang ada. Asumsi yang melandasi konflik tersebut, lanjut Parsons, karena setiap aktor dalam organisasi saling berebut tujuan tertentu, dan aktor-aktor itu mempunyai cara untuk mencapai tujuannya. Maka rentan sekali terjadi konflik dalam organisasi kampus yang anggotanya saling merebutkan status dan kekuasaan.

Terlebih lagi, kecenderungan organisasi eksternal yang menjadi backing dari penguasa, menjadikan mahasiswa tak lagi bisa obyektif sebagai kontrol sosial kekuasaan karena telah terkebiri. Keterikatan organisasi eksternal dengan salah satu partai misalnya, akan menjadikan idealisme dan semangat perjuangan membela rakyat menjadi tergadaikan. Suara mahasiswa akan terbungkam, dan masuk dalam arus politik kepentingan interest pihak tertentu.

Itu mengapa salah satu tokoh pergerakan angkatan ‘65, Soe Hok Gie (1942-1969), tak pernah setuju adanya politisasi organisasi eksternal kampus yang masuk ke dalam organisasi internal kampus, apalagi saat itu organisasi eksternal kampus diketahui berafiliasi secara langsung kepada salah satu partai politik.

Gie yang menjadi mahasiswa pencintaalam dari UI saat itu, bersama  rekan-rekannya, adalah salah satu tokoh yang menolak berkooptasi dengan kekuatan politik di luar kampus. Ia lebih memilih berdiri dengan idealismenya, dari pada harus terseret ke arus politik praktis. Gie lebih memilih bersifat netral dan bangga membawa nama almamater kampusnya tanpa embel-embel organisasi eksternal.

Ia tak mau terperangkap pada hasrat kekuasaan sebagai tujuan akhir. Itu mengapa dirinya menentang politisasi organisasi pergerakan. Dengan demikian, ideologi dan idealisme yang diusung oleh organisasi internal mahasiswa tetap bisa berkumandang membela kepentingan rakyat tanpa harus terbelenggu kuasa secara praktis.

Setelah sekian lama pemikiran Gie menjadi sejarah pergerakan. Kini sudah saatnya organisasi eksternal kampus menyusun kembali visi-misinya, agar tak terjebak pada arah politisasi yang menenggelamkan idealisme dan ideologi pergerakan. Karena sejatinya pergerakan mahasiswa memerlukan komitmen untuk tak ‘berselingkuh’ dengan pihak yang seharusnya diawasi.

Selain itu, memanfaatkan massa dari perekrutan anggota baru, sebagai pendukung kekuatan politik dalam kampus, juga merupakan pembodohan terhadap anggota sendiri dan publik. Karena jika mau demikian, seharusnya organisasi eksternal berani mengakui diri sebagai tangan dari peminat kekuasaan dalam kampus, dan bukan organisasi yang bernilai perjuangan dalam hal membela rakyat. Itu mengapa Soe Hok Gie berujar: “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.”

M Zainal ArifinMahasiswa Program Studi Ekonomi Islam Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Kru Redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa PARADIGMA STAIN Kudus

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel