PENGARUH KENAIKAN HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA


BAB I
LATAR BELAKANG

Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan dasar dalam industri di seluruh dunia, tetapi bahan bakar minyak merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kebutuhan bahan bakar minyak baik dalam bidang industri maupun transportasi semakin hari semakin meningkat karena mesin-mesin tersebut membutuhkan bahan bakar minyak.

Dalam beberapa minggu ini, harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan drastis. Meroketnya harga minyak mentah yang menuju angka USD 100 per barel, membuat khawatir seluruh warga dunia. Ancaman munculnya kembali krisis ekonomi global seperti pertengahan 2008, mulai membayangi.

Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Pemerintah mulai panas-dingin menghadapi kenaikan ini. Jika harga minyak mentah dunia sampai menembus angka USD 100 per barel, jelas akan mengganggu program-program pemerintah. Ini disebabkan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 hanya sebesar USD 80 per barel. Itupun dengan asumsi target lifting minyak sebesar 970.000 barel per hari, padahal dalam kenyataan pada tahun 2010 kemarin tidak sampai 960.000 barel per hari.

Keniakan harga minyak ini akan berdampak semakin parah jika rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi gagal dilaksanakan. Hal ini tentu akan menambah beban APBN yang berlipat-lipat. Sebagai dampaknya, perekonomian Indonesia akan terpukul hebat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mewaspadai tren tersebut sambil memikirkan solusi yang tepat untuk mengantisipasi kekacauan tersebut.


BAB II
PERMASALAHAN

            Seiring dengan naiknya harga minyak dunia yang hampir mendekati level U$ 100 per barel tinggal menunggu waktu. Turbulensi ekonomi tidak bisa dihindari lagi, tinggal seberapa besar turbulensi tersebut mengguncang perekonomian domestik.
Minyak dan fluktuasi harganya memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir semua aktivitas makroekonomi, karena minyak merupakan salah satu energi utama yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam memproduksi barang dan jasa. Minyak menjadi sumber energi teratas penggunaanya untuk menopang proses produksi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harga minyak sangat sensitif dengan kondisi perekonomian atau pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Dan tidak ada satu negarapun yang tidak tergantung pada minyak dan mampu secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harga. Jika ini terus terjadi tanpa melakukan terobosan untuk mencari alternatif energi lain atau penghematan energi melaui efisiensi penggunaan energi, maka mungkin mesin-mesin produksi terpaksa digilir atau bahkan bisa mati untuk selamanya, sehingga bertambahnya angka pengangguran dan angka kemiskinan akan menjadi side effect-nya.






BAB III
PEMBAHASAN

Melihat pergerakan harga minyak saat ini, prediksi para ekonom harga minyak akan menembus level U$ 100 per barel tinggal menunggu waktu. Turbulensi ekonomi tidak bisa dihindari lagi, tinggal seberapa besar turbulensi tersebut mengguncang perekonomian domestik.
Minyak dan fluktuasi harganya memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir semua aktivitas makroekonomi, karena minyak merupakan salah satu energi utama yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam memproduksi barang dan jasa. Minyak menjadi sumber energi teratas penggunaanya untuk menopang proses produksi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harga minyak sangat sensitif dengan kondisi perekonomian atau pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Dan tidak ada satu negarapun yang tidak tergantung pada minyak dan mampu secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harga. Jika ini terus terjadi tanpa melakukan terobosan untuk mencari alternatif energi lain atau penghematan energi melaui efisiensi penggunaan energi, maka mungkin mesin-mesin produksi terpaksa digilir atau bahkan bisa mati untuk selamanya, sehingga bertambahnya angka pengangguran dan angka kemiskinan akan menjadi side effect-nya.
Dampak yang lebih besar akibat kenaikan minyak ini akan sangat lebih terasa ketika harga minyak belum diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, subsidi minyak masih menjadi beban negara, tidak tercapainya efisiensi energi pada penggunaanya dan tidak adanya pengembangan serta penerapan energi alternatif, seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan memerima dampak negatif akibat kenaikan harga minyak dunia.
Penyebab Kenaikan
Sulit memastikan apa yang menjadi penyebab kenaikan harga minyak yang lonjakannya begitu tajam tahun ini, karena dari sisi produksi tidak ada indikasi penurunan yang signifikan dan begitu juga dari sisi permintaan cenderung relatif stabil. Apabila ada peningkatanpun, peningkatannya tidak begitu signifikan. Salah satu kemungkinan yang dapat menjadi penyebab kenaikan harga ini adalah pengaruh psikologis pelaku pasar yang menganggap bahwa komoditas ini akan menjadi barang langka dimasa-masa yang akan datang (ekspektasi pelaku pasar) dan juga dibarengi dengan tindakan spekultaif pelaku pasar untuk mengambil keuntungan. Faktor ini didukung oleh kondisi instabilitas geopolitik yang sedang terjadi di Timur Tengah (negara-negara penghasil minyak seperti Iran dan Irak). Diluar yang diatas tersebut, faktor tindakan politis negara Amerika Serikat di tengah-tengah guncangan ekonomi domestiknya juga bisa menjadi penyebab, misalnya ada “rancangan atau motif” Amerika Serikat oleh IMF untuk mengguncang perekononomian negara berkembang yang disebakan semakin sedikitnya permintaan negara berkembang untuk menjadi pasien IMF melalui pengajuan kredit ke lembaga tersebut (faktor politis).        
Kalau kita menilik kembali ke masa lalu, kenaikan atau lonjakan harga minyak dapat dideteksi penyebabnya tetapi kenaikan kali ini sangatlah sulit mendeteksi kenaikan harga minyak hingga menembus level U$ 90 per barel. Pada masa lalu, krisis minyak tahun 1970an terjadi ketika terjadi peperangan dan kekacauan politik di Timur Tengah dan ketika itu pua OPEC mengekang prokusinya. Inilah yang menjadi pemicu kenaikan atau lonjaklan harga. Selanjutnya krisis tahun 1980 dan 1991 juga dikibatkan terjadinya kekacauan politik dan perang di Timur Tengah (Perak Irak dan Iran). Pada tahun 2004, kenaikan harga juga di dorong oleh ketegangan dan kekacauan politik yang bermula dengan runtuhnya WTC pada 11 september dan berakhir dengan invasi Amerika Serikat ke Irak. Dan kenaikan pada tahun 2005, lebih diakibatkan oleh terjadinya badai katrina. Dari runtutan kejadian mulai tahun 1970-an hingga tahun 2005, faktor pendorong kenaikan harga dapat diidentifikasi (faktor supply yang terganggu yang diakibatkan oleh faktor eksternal diluar faktor produksinya, sehingga mendorong kenaikan harga).
Kalau melihat kejadian tahun ini (tahun 2007), kenaikan harga sulit dipastikan dan kecenderungan kenaikan diakibatkan karena kecenderungan akibat ekspektasi pelaku pasar dan didukung oleh kondisi politik yang agak memanas di Timur Tengah.

Sejak November tahun 2010, tren harga minyak mengalami kenaikan dari semula 80 dolar AS menjadi sekitar 90 dolar AS. Bahkan, pada 24 Desember 2010, harga minyak sudah menyentuh 90,73 dolar AS, yang tertinggi dalam 25 bulan terakhir.
Cukup banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia ini. Salah satunya adalah terjadinya musim dingin ekstrim di berbagai wilayah dunia, terutama Eropa dan Amerika Utara. Buruknya cuaca di negara-negara tersebut menyebabkan kebutuhan akan minyak sebagai bahan bakar semakin meningkat. Selain itu, terjadinya perang nilai tukar mata uang juga menyebabkan harga minyak mentah melambung tinggi.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah ekspektasi pelaku pasar yang meyakini perekonomian global terus membaik, terutama Amerika Serikat sebagai konsumen minyak terbesar di dunia. Menurut John Vautrain, Wakil Presiden Purvin & Gertz, konsultan energi internasional di Singapura, fundamental industri mendukung permintaan minyak yang masih akan meningkat. Ini memperkuat keyakinan pemulihan ekonomi akan memperoleh momentumnya di saat belanja pembangunan naik 0,4% pada November ke titik tertinggi selama lima tahun.
Oleh karena itu, Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan harga minyak saat ini berada dalam posisi berbahaya bagi ekonomi global. Sebab, kondisi ini mengancam pemulihan ekonomi yang rapuh di negara-negara maju
Tagihan impor minyak menjadi ancaman bagi pemulihan ekonomi. Kondisi saat ini menjadi seruan untuk bangkit kembali bagi negara-negara konsumen dan produsen minyak. Harga minyak yang mendekati USD100/ barel akan memberikan tekanan bagi organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang bulan lalu memutuskan untuk mempertahankan kuota produksinya di tengah kenaikan harga-harga komoditas. Jika OPEC tidak mampu menaikkan kuota produksinya, sementara permintaan terus mengalami kenaikan, bisa dipastikan harga minyak akan meroket terus, bahkan bisa menyentuh nilai 145 dolar AS per barrel, nilai tertinggi dalam sejarah. Jika ini terjadi, bisa dibayangkan perekonomian dunia akan hancur.
Pengaruh Kenaikan Harga Minyak terhadap Indonesia
Pada kurun waktu tahun 1970-an, sampai dengan tahun 1980-an, naiknya harga minyak (krisis minyak) memberikan keuntungan yang relatif sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia “ketiban pulung” windfall dari kenaikan harga minyak karena pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak. Kenaikan harga minyak ini, mampu mendongkrak jumlah “pundi-pundi” devisa negara sehingga pada saat itu untuk sementara keadaan terselamatkan (Anggaran Negara).
Untuk saat sekarang (mulai tahun 2004, 2005 dan oktober 2007), apa yang disebut windfall di masa lampau tidak mungkin lagi dirasakan oleh Indonesia. Ini disebabkan karena pada masa-masa sekarang kita tidak lagi menjadi eksportir tetapi sudah tumbuh menjadi importir yang haus minyak (transisi dari eksportir ke importir) dan semakin lama ladang minyak kitapun sudah tidak bisa diandalkan. Dengan kondisi sekarang (transisi) maka kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap perekonomian yang hingga saat ini menjadikan minyak sebagai pendorong proses produksi (kecenderungan ketergantungan) dan anggaran pemerintah.
Kenaikan harga minyak memiliki pengaruh dua sisi terhadap anggaran pemerintah, di satu sisi meningkatkan penerimaan pemerintah dari minyak dan sisi yang lain akan meningkatkan beban subsidi. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga ini pasti akan mempengaruhi beban fiskal (defisit anggaran), yang dikarenakan Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi untuk konsumsi minyak domestik. Akan tetapi dampak tersebut relatif tidak terlalu besar atau cenderung netral, ini disebabkan karena sejak tahun 2005 subsidi BBM untuk bensin dan solar sebagian besar sudah dihapuskan dan yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah.
Dampak ini akan relatif lebih besar terhadap anggaran apabila target produksi minyak Indonesia (Lifting Minyak) tidak tercapai (sensitifitas perubahan asumsi produksi terlihat dari perhitungan setiap penurunan prokusi meniyak mentah 50.000 barel per harga akan mengakibatkan defisit anggaran bertambah Rp 4 Trilliun) dan jika produksi tidak meningkat dan konsumsi di dalam negeri melaju seperti sekarang, maka pembengkakan defisit anggaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan. Selain itu kenaikan harga minyak akan sangat semakin berdampak terhadap defisit anggaran apabila konsumsi BBM domestik terus meningkat dan aktifitas penyelendupan minyak keluar negeri meningkat (semakin marak) akibat disparitas harga di dalam negeri dan harga di luar negeri semakin melebar sebagimana yang terjadi pada tahun 2004.
Koreksi proyeksi pertumbuhan dunia dari 5,2% menjadi 4,8% untuk tahun 2008 dan Indonesia hanya 6,1% (proyeksi IMF) juga bisa membuat kita melihat gambaran kondisi perekonomian global yang lebih suram sehingga sudah pasti akan mempengaruhi penerimaan negara dari pajak. Dengan demikian ini pasti akan menimbulkan semakin menganganya defisit anggaran apabila pemerintah tidak melakukan tindak antisipatif yang cepat. Kenaikan ini juga (kenaikan tarif listrik non-subsidi) akan menambah beban sektor industri dan akan mengakibatkan turunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang sehingga pada akhirnya akan dapat mengganggu target perekonomian.
Bagi Indonesia, setiap kenaikan harga minyak mentah dunia akan selalu mengundang kekhawatiran. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, setiap kenaikan harga minyak USD 1 per barel, pemerintah harus menyiapkan dana tambahan subsidi BBM sebesar Rp 2,6 triliun, sebuah jumlah yang tidak sedikit bagi negeri ini.

Selain itu, kenaikan harga minyak mentah dunia akan meningkatkan harga jual BBM non subsidi yang selama ini mengikuti harga pasar. Dalam mengawali pergantian tahun dari 2010 ke 2011 ini saja, terjadi kenaikan harga pertamax sebesar Rp 450 dari Rp7.050 per liter menjadi Rp7.500. Apalagi jika harga minyak mentah bertengger di level USD 100 per barel, harga pertamax di Jakarta dan sekitarnya diprediksi bisa menembus Rp 8.900 per liter, sebuah nilai yang sangat besar bagi konsumen di negeri ini.

Dampak lain yang mungkin timbul adalah disparitas harga BBM bersubsidi (premium) dengan pertamax yang begitu tajam akan berpeluang mengganjal program penghematan BBM bersubsidi yang dicanangkan dimulai Maret depan.

Kondisi akan semakin parah bila hal itu diabaikan, karena bisa mengundang spekulasi di tengah masyarakat sehingga terjadi penimbunan BBM oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab dengan berharap keuntungan dibalik kekisruhan hilangnya BBM di pasaran. Ini sebuah dampak langsung dari kenaikan harga minyak mentah dunia yang harus diantisipasi.

Ancaman lain yang harus diwaspadai adalah inflasi. Jika harga minyak mentah naik, harga barang-barang akan cenderung ikut naik sehingga kemungkinan terjadi pembelian besar-besaran di masyarakat untuk mengamankan pasokan. Akibatnya, laju inflasi sulit ditahan. Bagi kalangan industri, kenaikan harga minyak akan menyebabkan kenaikan harga produksi sampai lima persen, sementara kenaikan di tingkat konsumen bisa sampai 7,5 persen. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin target inflasi dalam APBN 2011 akan jauh terlampaui, dan berbahaya bagi perekonomian Indonesia ke depannya.

Oleh karena itu, pemerintah harus mewaspadai gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia ini. Dan yang lebih penting lagi, upaya-upaya konkrit dan sistematis wajib dilakukan oleh pemerintah, untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.

BAB IV
KESIMPULAN

Minyak dan fluktuasi harganya memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir semua aktivitas makroekonomi, karena minyak merupakan salah satu energi utama yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam memproduksi barang dan jasa. Minyak menjadi sumber energi teratas penggunaanya untuk menopang proses produksi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harga minyak sangat sensitif dengan kondisi perekonomian atau pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Dan tidak ada satu negarapun yang tidak tergantung pada minyak dan mampu secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harga. Jika ini terus terjadi tanpa melakukan terobosan untuk mencari alternatif energi lain atau penghematan energi melaui efisiensi penggunaan energi, maka mungkin mesin-mesin produksi terpaksa digilir atau bahkan bisa mati untuk selamanya, sehingga bertambahnya angka pengangguran dan angka kemiskinan akan menjadi side effect-nya.
Oleh karena itu, pemerintah harus mewaspadai gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia ini. Dan yang lebih penting lagi, upaya-upaya konkrit dan sistematis wajib dilakukan oleh pemerintah, untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.










REKOMENDASI
Apabila kita melihat bahwa dalam jangka panjang fluktuasi harga minyak masih berpeluang terus terjadi, di masa depan minyak tidak dapat dijadikan andalan lagi untuk mendulang devisa dan ketergantungan pelaku perekonomian Indonesia yang sangat tinggi terhadap BBM (seiring semakin menipisnya cadangan minyak Indonesia), sudah saatnya kita mengembangkan dan mengoptimalkan sumber energi alternatif sehingga roda perekonomian kita tidak terlalu terganggu akibat perubahan fluktuatif harga minyak. Maka untuk itu, penyediaan infrastruktur, perencanaan dan kebijakan pemerintah  untuk mengembangkan sumber energi alternatif (baik kebijakan harga, kebijakan distribusi maupun investasi) sangatlah diperlukan. Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma manajemen energi yang menjadikan minyak single eource of energy.
Melihat kondisi ketergantungan kita terhadap minyak dan derivasi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek.
Pertama, yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah dampak kenaikan harga minyak akan menciptkan peningkatan disparitas harga domestik dengan harga internasional dan pada akhirnya akan mendorong peningkatan aktifitas penyelundupan (akibat insentif menyelundupkan yang meningkat). Apabila ini terjadi, maka akan berakibat fatal terhadap proses perekonomian secara keseluruhan dan defisit anggaran.
Kedua, beban industri yang meningkat serta beban eksternal (high cost economy) yang belum bisa dipangkas juga harus menjadi perhatian pemerintah sehingga pada akhirnya pemerintah mampu merumuskan kebijakan kompensasi bagi industri dan kebijakan lainnya untuk menyokong kegiatan produksi industri dan tetap mempertahankan roda produksi.
Ketiga, pemerintah juga harus memperhatikan bahwa variabel yang sangat sensitif terhadap defisit anggaran adalah produksi minyak. Jika produksi minyak menurun, maka akan mengakibatkan penambahan (membengkaknya) defisit anggaran.
Keempat, pengembangan dan pengoptimalan sumber energi alternatif harus mendapat skala prioritas pemerintah, melihat potensi yang masih ada di alam Indonesia, semakin menipisnya cadangan minyak Indonesia serta perkembangan fluktuasi minyak (baik dilihat dari harga maupun kapasitas produksi).
Kelima, pemerintah juga harus mengoptimalkan sektor-sektor yang mampu memberikan windfall, seperti Karet, komoditas pertambangan lainnya dan CPO, yang harganya ikut naik.
Keenam, perlunya dilakukan kampanye secara terus menerus kepada industri dan masyarakat untuk menggunakan energy (khususnya minyak) secara efektif dan efisisen serta kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengeurangi “pemborosan” penggunaan energy misalnya kebijakan di sektor transportasi – Mass Rapid Transportation.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel