RUU Intelijen dan Intelijen Masuk Kampus

Image: corbis.com
Image: corbis.com
ISU gerakan bawah tanah Negara Islam Indonesia (NII) yang kembali mengemuka dikaitkan dengan isu terorisme menjadi alasan -bagi beberapa kalangan- sangat ampuh untuk mendukung legalnya intelijen masuk kampus. Mahasiswa, sebagaimana diberitakan media, adalah fragmen dari masyarakat yang paling mudah disusupi dan dipengaruhi oleh radikalisme dan paham-paham menyimpang lain.

Argumen ini juga digunakan untuk menguatkan posisi oknum yang menghendaki pengawasan lebih ketat bagi aktivis mahasiswa. Suatu argumen yang ditinjau dari sisi mana pun akan terkesan mengada-ada. Hal ini dapat dilihat dari data mengenai korban NII yang dibeberkan NCC, meskipun memang kebanyakan mahasiswa menjadi korban, mayoritas dari mereka adalah korban yang direkrutnya pun tidak secara sadar dalam pengaruh hipnotis.

Data kuantitas mahasiswa berpaham radikal yang terlibat aksi-aksi gerakan terorisme pun tidak pernah dibuktikan. Jika dilihat lebih jauh, argumen yang mencurigai mahasiswa sebagai pelaku radikalisme dan aktivis terorisme telah menciderai predikat mahasiswa sebagai kaum intelektual yang pastinya tidak demikian mudahnya jatuh pada tindakan semacam itu. Dengan demikian jelaslah, argumen tersebut dibuat hanya untuk memberi alasan beberapa oknum agar dapat kembali mengontrol gerakan mahasiswa yang bagi mereka mungkin terasa mengancam.

Penulis tidak menyangkal adanya sebagian sangat kecil dari oknum mahasiswa yang kemungkinan terlibat tindakan-tindakan anti-sosial yang telah disebutkan. Penulis juga bukanlah termasuk pihak-pihak yang anti terhadap peran intelijen dalam menjaga ketertiban berbangsa dan bernegara. Namun, kebijakan intelijen masuk kampus terkesan sangat reaktif dan janggal. Misalnya seperti yang terjadi di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).

Reaktif di sini karena dimunculkan saat isu NII yang cukup marak di berbagai tempat, khususnya universitas-universitas negeri maupun swasta. Apalagi perijinan intel masuk kampus oleh pihak rektorat IPB ini dilabeli alasan menyidik pencucian otak mahasiswa oleh NII.

Lantas mengapa masuknya intelijen tersebut dipublikasikan? Inilah yang kemudian menjadi kejanggalan dan memicu berbagai pertanyaan yang lain. Bukankah kerja intelijen merupakan kerja yang bersifat rahasia? Lalu apakah sebelumnya tidak ada aktivitas intelijen dalam kampus? Siapakah yang dapat menjamin eksistensi intelijen dalam kampus sesuai dengan keperluannya saja tanpa merugikan gerakan mahasiswa? Ditambah lagi, mengenai teori konspirasi bahwa keberadaan NII KW IX yang awalnya justru diinisiasikan oleh intelijen.

Kekhawatiran mahasiswa atas dilegalkannya intelijen memasuki kampus cukup beralasan. Bayang-bayang sejarah tentang berbagai tindakan represif penguasa terhadap mahasiswa yang salah satunya menggunakan instrumen intelijen masih cukup membekas pada ingatan aktivis mahasiswa. Pengontrolan dan pemata-mataan mahasiswa yang mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa melalui intelijen ternyata juga masih terjadi hingga lewat dari satu dasawarsa reformasi.

Sebagai gambaran, satu setengah tahun yang lalu, aksi mahasiswa pada hari pelantikan SBY sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya dapat diaktakan sangat sepi. Pada saat itu, mahasiswa daerah yang akan berangkat ke Jakarta dihadang di jalan oleh polisi. Bahkan di Bogor, empat bus yang sedianya akan dipakai untuk mengangkut massa aksi mahasiswa kala itu dicegat polisi dalam perjalanan menuju kampus sebelum sempat mengangkut satu mahasiswa pun.

Dari mana mereka tahu bahwa bus-bus itu yang akan mengangkut demonstran? Tentu ini adalah kerja intelijen. Lantas apa yang akan terjadi jika keberadaan mereka sudah mengantongi ijin dari pihak institusi kampus?

Kerisauan lain juga timbul sebab pembahasan Rancangan Undang-Undang Intelijen yang tak kunjung selesai. Penyusunan draftnya juga sangat minim sekali melibatkan pendapat masyarakat dan mahasiswa sebagai pihak yang kemungkinan besar akan paling banyak terimbas oleh disahkannya RUU ini menjadi Undang-undang.

Hingga saat ini, masih banyak pasal dari RUU yang rencananya disahkan bulan Juli ini yang multitafsir. Bahkan, beberapa dari isi RUU ini rawan digunakan untuk kembali menekan gerakan mahasiswa seperti di masa lalu. Sebagai contoh, tidak adanya rincian mengenai istilah mengancam stabilitas negara. Hal ini membuka jalan bagi istilah tersebut untuk bisa digunakan secara subjektif intelijen dalam memandang siapa yang dapat dikategorikan mengancam stabilitas negara. Bahkan demonstran mahasiswa pun dapat dianggap akan mampu menggoyahkan stabilitas negara.

Inti pemikiran tulisan ini adalah sah-sah saja intelijen masuk kampus selama mereka tidak kontra-produktif bagi jalannya gerakan mahasiswa. Keterlibatan masyarakat dan mahasiswa dalam penyelesaian draft RUU intelijen yang sebenarnya masuk dalam prolegnas tahun lalu ini diperlukan sehingga Undang-Undangnya nanti tidak hanya bersifat melegalkan tindakan-tindakan intel saja, namun juga menjadi kontrol intelijen. Kontrol atas sepak terjang intelijen agar pengalaman pahit yang dirasakan oleh aktivis pergerakan di masa lalu dapat tidak terulang kembali.
 
Muh. Dimas Arifin

Mahasiswa Meteorologi terapan
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Ketua Komisi 2 bidang Sosial Politik dan advokasi
DPM FMIPA IPB

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel