Dampak Kenaikan Minyak Terhadap APBN dan Perekonomian Nasional

Pengaruh meroketnya harga minyak dunia akibat krisis politik Timur Tengah, terus mendekati titik krusial. Kondisi ini secara langsung berpengaruh terhadap harga minyak di Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Oleh pemerintah, dalam APBN ditetapkan bahwa harga ICP kita US$ 80 per barel.
Dengan asumsi bahwa target produksi (lifting) bisa mencapai 970.000 barel per hari. Akan tetapi harapan dan target pemerintah itu, ibarat pepatah “Jauh panggang dari api”. Karena saat ini lifting kita jauh dari yang ditargetkan. Kita hanya bisa mampu mencapai lifting sebesar 944.000 barel per hari. Dengan tidak tercapainya target lifting tersebut, pemerintah mau tidak mau harus mengimpor minyak sekitar 500 ribu barel per hari, untuk memenuhi volume kebutuhan minyak di Indonesia yang kurang lebih mencapai 1,4 juta barel per hari.
Dengan mengandalkan minyak impor inilah, menjadi sebab ketergantungan kita yang berlebihan terhadap negara eksportir minyak. Dengan demikian, ketika terjadi sedikit saja gejolak politik dan sosial ekonomi di negara eksportir yang berpengaruh pada fluktuasi harga minyak dunia, maka hal tersebut secara ekstrem berimplikasi terhadap stabilitas ICP kita. Contoh kasus, destabilisasi politik seperti di Mesir, Libya dan negara Timur Tengah lain di awal Januari hingga saat ini, secara jelas membuat harga ICP kita ketar-ketir. Dan sudah pasti implikasinya merambat luas pada sektor-sektor strategis ekonomi lainya yang sulit di tepis.
Hantu defisit
Memang betul, bahwa harga BBM yang dipatok pemerintah dalam APBN 2011 berdasarkan asumsi makro adalah US$ 80 per barel. Namun jika dilihat dari data, baik pemerintah maupun media publik, lonjakan harga minyak dunia terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah pada tahap yang krusial. Pasalnya, saat ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia hingga bulan Maret telah mencapai US$ 100,4 per barel.
Hipotesa kita adalah, apabila fluktuasi harga ICP telah melampaui patokan APBN 2011 (US$ 80 per barel), maka harga minyak tersebut telah berpengaruh signifikan terhadap defisit APBN kita. Hal ini karena setiap kenaikan minyak US$ 1 per barel, akan menggerus subsidi sebesar 800 miliar. Dengan asumsi bahwa apabila kita kekurangan minyak sebesar 24 barel per hari, maka pemerintah harus menyuntik lagi anggaran sebesar 19,2 triliun untuk menutupi kekurangan BBM. Sementara kuota subsidi kita dalam bantalan APBN sebesar Rp.95,9 triliun. Dan apabila kuota subsidi ini terus terkuras, atau melampaui ekspektasi penghematan pemerintah, maka lagi-lagi APBN kita akan mengalami defisit. Karena pemerintah perlu menambal lubang defisit tersebut dengan menambah bantalan APBN. Dan hal ini secara serta-merta akan memicu gonjangan ekonomi turunan di berbagai sektor yang berhubungan dengan BBM. Menurut pemerintah (Menteri Keuangan), apabila harga minyak terus meningkat, maka defisit anggaran sampai akhir 2011 bisa bertambah 10 triliun hingga Rp 17 triliun. Dan apabila harga minyak dunia terus meningkat, maka defisit APBN kita bisa bertambah parah lagi.
Yang sulit kita bayangkan dan apa akibatnya adalah, bila fluktuasi harga minyak dunia terus meroket hingga US$ 130 barel per hari atau lebih dari itu? Bila gejolak politik di Timur Tengah terus membuncah dan ekspansif. Yang pasti, ancaman destabilisasi akan terjadi di semua lini kehidupan negara kita.
Implikasi turunan
Secara alamiah, fluktuasi harga minyak dunia itu akan berpengaruh secara global. Mau tidak mau, Indonesia pun akan merasakan implikasi dari fluktuasi harga minyak tersebut. Solusi realistis yang ada di hadapan pemerintah saat ini adalah, menaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 5000 per liter, dan akan terjadi penghematan APBN hingga sekitar Rp 15 triliun. Demikian juga mengalihkan ke pertamax dengan mematok harga Rp.8000 perliter serta kebijakan melakukan sisitem kendali terpusat.  Namun dari ketiga opsi yang disarankan untuk pemerintah, akan tetap memiliki dampak inflasi 0,3%-0,5% hingga maksimum 0,6%.
Kenaikan harga minyak dunia juga akan menimbulkan dampa inflasi pada sektor lain. Semisal, industri petrokimia yang menggunakan bahan baku minyak bumi dipastikan menaikkan harga produknya, seperti plastik dan sederet nilon untuk tekstil. Harga minyak dunia yang meningkat juga akan ikut mendorong harga sejumlah komoditas pangan dalam negeri.
Kondisi ini menjadi ancaman lain bagi banyak negara pengimpor pangan termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil publikasi organisasi pangan dunia FAO, lonjakan harga minyak dunia berpengaruh terhadap indeks harga pangan dunia sebesar 231 dan pada bulan februari mencapai 236 (Kompas, 10 Maret 2011).
Sebagai negara yang memiliki hubungan mata rantai dengan siklus ekonomi dunia, Indonesia akan secara langsung merasakan multi efek dari lonjakan harga minyak dunia. Harga pangan akan terdorong naik ketika harga minyak terus menanjak. Karena sejumlah komoditas pertanian digunakan untuk subsitusi bahan bakar minyak. Selain itu, kebutuhan petani akan minyak untuk mesin pertanian dan untuk kebutuhan pengapalan komoditas yang juga membutuhkan bahan bakar minyak dalam kapasitas besar. Goncangan harga pangan tersebut akan turut memompa lonjakan inflasi pada komoponen bahan pangan tertentu yang tingkat ketergantungannya terhadap BBM cukup tinggi.
Dilema pemerintah
Di tengah ancaman situasi ini, pemerintah terjebak dalam dilematisme akut. Pasalnya, turunnya harga minyak pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebelumnya, turut memberikan sumbangsih pencitraan yang luar biasa hingga terpilih yang kedua kalinya (pada pemilu 2009). Kondisi ini akan berbalik (citra SBY akan turun), manakala bila pemerintah memtusukan untuk menaikkan harga BBM. Kendatipun menaikan harga BBM merupakan keharusan yang realistik.
Sikap wite and see saat ini, memberikan ruang bagi para spekulan untuk memainkan harga BBM di pasaran. Akibatnya, sebelum pemerintah melakukan pengendalian BBM bersubsidi, destabilisasi harga sudah terjadi di lapangan. Untuk itu, pemerintah harus mengambil langkah tanggap, dengan memilih opsi yang tingkat resikonya tidak terlalu parah terhadap perekonomian nasional. Kendatipun demikian, langkah-langkah solusi tersebut bukan merupakan langkah pragmatis dan politis untuk menambal APBN semata dari defisit. Akan tetapi ke depan, harus ada suatu perspektif untuk memasukkan aspek ketahanan energi dengan tidak hanya mengandalkan minyak impor. Demikian juga tidak hanya mengandalkan bahan bakar minyak. Tetapi beralih ke bahan bakar alternatif seperti elpiji atau bahan bakar nabati, sembari menigkatkan kapasitas lifting kita. Pengalihan subsidi pun demikian, mesti diberikan pada mereka yang benar-benar berhak mendapatkannya. Keterlambatan pemerintah dalam mengambil keputusan, akan menimbulkan lonjakan harga terselubung, serta afek yang akan semakin sulit di bendung serta kepanikan yang akan menimbulkan sika-sikap reaktif di tengah masyarakat.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel