Menjadi Mahasiswa = Menjadi Demonstran, Benarkah?

MAHASISWA atau mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas, Politeknik, Sekolah tinggi, akademi dan lain-lain. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah kebanggan tersendiri karena tidak semua orang bisa mendapatkannya atau katakanlah menempuh pendidikan sampai dengan perguruan tinggi. Walaupun tidak semua perguruan tinggi itu mahal tetapi citra yang berkembang sudah sedemikian rupa.

Menjadi mahasiswa hakikatnya harus ikhlas, harus tabah, harus berjuang, karena kita (mahasiswa) adalah pemimpin Indonesia kelak. Menjadi mahasiswa berarti menjadi orang yang dihadapkan dengan berbagai persoalan hidup. Persoalan yang pada umumnya  disikapi adalah persoalan sosial dan politik. Rasa tanggung jawab yang tinggi memperjuangkan rakyat, pribadi, dan watak yang terbentuk, kritis, idealis, bahkan apatis sekali pun, karena hidup ini adalah pilihan.

Demonstrasi (aksi) sering kali dijadikan sarana untuk menyampaikan aspirasi baik itu suara rakyat ataupun suara golongan yang sarat kepentingan di dalamnya. Beberapa bulan terakhir ini kita dihadapkan dengan banyaknya aksi massa yang turun ke jalan menyuarakan kebenaran, keadilan, dan penegakan hukum. Walaupun tidak semua demonstrasi itu dilakukan dengan anarkis tetap saja patut kita pertanyakan arti sebuah demonstrasi itu.

Mahasiswa adalah insan yang cerdas, insan yang mandiri, insan yang kritis, insan yang ”Hijau”, kecuali mahasiswa yang sudah mendapatkan doktrin dari partai politik atau elemen-elemen ekstraparlementer.

Eep Syaifulloh Fatah mengatakan, banyak aktivis (demonstran) musiman di negara ini. Menarik apa yang dikatakan beliau, karena ada unsur-unsur ketidakpahaman dalam berdemonstrasi (aksi). Berteriak lantang tanpa makna, tanpa solusi, tanpa etika. Andai saja boleh ditanyakan ke semua peserta demonstrasi, “Kamu tau gak lagi aksi apa?" Atau, "Coba kamu jelaskan duduk permasalahan kasus aksi hari ini (analisis isu) ?" Atau, "Coba jelaskan kronologis kejadian isu ini, hingga kamu berani aksi?" Dan yang paling penting, tanyakan, ”Menurut kamu solusi terbaiknya apa? Kenapa?"

Sudah bisa dijamin tentunya, tipikal mahasiswa "bebek" tidak akan mampu menjawab pertanyaan ini. Tidak bermaksud mendiskreditkan aktivis mahasiswa yang rajin turun ke jalan. Namun ada baiknya jangan jadi mahasiswa bertipikal "bebek" yang hanya bisa ikut-ikutan saja. Daripada cuma berprinsip "yang penting Aksi, yang penting turun ke jalan, yang penting menyanyikan lagu perjuangan, yang penting masuk media, yang penting teriak-teriak", lebih baik solusinya adalah mahasiswa bertipikal ”bebek” ini tidak usah ikut aksi saja, karena merusak hakikat aksi dan merusak citra aktivis-aktivis yang benar-benar serius dan fokus atas isu yang diaksikan.

Tanpa mengurangi rasa hormat, seyogyanya sebelum aksi dilakukan, peserta atau partisipan aksi dites terlebih dahulu, atau dididik dahulu sebelum aksi. Ini penting agar mereka memahami isu, punya solusi konkret, dan jelas beretika. Salut dan hormat buat elemen ekstraparlementer yang sudah mendidik peserta aksi sebelum aksi.

Isu yang berkembang dewasa ini adalah disorientasi gerakan mahasiswa. Penyebabnya banyak, di antaranya mahasiswa sudah tidak tertarik lagi dengan diskusi-diskusi politik, aksi massa, mengkritik kebijakan pemerintah baik lokal ataupun internasional. Mahasiswa sudah apatis dengan kegiatan-kegiatan kampus, mahasiswa sudah tidak berjiwa organisatoris lagi.

Bahkan isu berkembang yang paling menarik adalah pola berpikir mahasiswa sekarang layaknya seorang pedagang. Alasannya sederhana, banyak mahasiswa yang mengikuti kegiatan-kegiatan entreprenuership yang menurut mereka lebih menjanjikan masa depan dan kemandirian selama menjadi mahasiswa. Tapi hal ini dianggap tidak merepresentasikan mahasiswa.

Suatu pelabelan yang buruk sekali. Apa salahnya menjadi entrepreneur? Jika kita berpikir sedikit pragmatis, apa menjadi demonstran menjanjikan kemandirian (uang)? Aneh sekali pemikiran-pemikiran sebagian pihak di lingkaran mahasiswa yang berani memberi label ke mahasiswa lain. Apa hak mereka? 

Iklim ilmiah yang semakin meningkat di lingkungan mahasiswa juga dianggap sebagai strategi pemerintah (dalam hal ini Ditjen Dikti) untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Kompetisi LKTI, LKTM, PKM, sampai dengan PIMNAS dianggap sebagai alat pelemah gerakan mahasiswa.

Aneh sekali pemikiran-pemikiran seperti ini. Semua mahasiswa yang masih rasional dan logis pasti sepakat jika gerakan mahasiswa bukan hanya aksi turun ke jalan, teriak-teriak, bakar ban, dan memacetkan lalu lintas. Gerakan mahasiswa bukan hanya diskusi-diskusi politik atau NgomPol (Ngobrol Politik).  Gerakan mahasiswa bukan hanya bahasan-bahasan strategi politik. Identifikasi Mahasiswa sebagai insan kritis bukan hanya diaplikasikan lewat demonstrasi (aksi), tetapi lebih jauh lagi dengan karya-karya tulis yang lebih sistematis dalam cara berpikir, yang lebih ilmiah dalam mengkritik, yang lebih elegan dalam mencari solusinya.

Gerakan mahasiswa dewasa ini harus mengikuti perkembangan zaman. Karena ”perang” yang dilancarkan negara-negara lain terhadap Indonesia sudah lebih jauh, dan lebih kejam dari pada perang fisik. Banyak perang yang dilancarkan, mulai perang intelektual, perang gagasan, perang argumentasi, perang akademik, perang prestasi-prestasi dunia yakni prestasi mahasiswa di bidang ilmiah, olahraga, seni, dan budaya.
Mahasiswa harus berubah. Generasi 1998 dan sebelumnya memberi banyak pelajaran kepada mahasiswa tentang perjuangan mahasiswa. Darah yang tumpah di medan juang itu harus dibalas, harus dijawab dengan prestasi-prestasi, serta karya nyata mahasiswa seperti pengembangan desa-desa mandiri oleh mahasiswa, pengembangan IPTEK oleh mahasiswa, penelitian ilmiah mahasiswa, dan usaha mandiri mahasiswa. Turun ke jalan adalah pilihan, silakan turun ke jalan setelah ”paham” isu dan masalah.

Pendewasaan dan peningkatan mutu mahasiswa bukan hanya lewat diskusi-diskusi politik, aksi massa, dan lain-lain. Tetapi bisa lewat kompetisi rencana bisnis, LKTI, LKTM, PIMNAS, PEKSIMINAS, dan pagelaran lomba olahraga mahasiswa.

Memberi label kepada mahasiwa yang tidak sepikiran, yang tidak sejalan, yang tidak satu visi dan misi hendaknya dihindarkan. Karena pemberian label apatis, bermental pedagang, tidak organisatoris, perasaan jadi peneliti (sok ilmiah) sangat menciderai hak-hak asasi mahasiswa, menciderai semangat sportivitas mahasiswa, menciderai semangat juang mahasiswa, dan tentunya menciderai Tri Dahrma Perguruan Tinggi.

Akhirnya, Aksi itu banyak kawan:  aksi mahasiswa sayang lingkungan, aksi mahasiswa sayang saudara, aksi mahasiswa peduli sosial masyarakat, aksi mahasiswa cinta dan peduli seni dan budaya indonesia, aksi mahasiswa jaya di bidang olahraga, aksi ilmiah mahasiswa, aksi IPTEK mahasiswa, serta aksi mahasiswa sayang dan ingat amanah dari orangtua dan rakyat Indonesia. Salam Perjuangan Mahasiswa.

Hidup Mahasiswa Indonesia!!!

Febry Arisandi 
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel